Mayjen. TNI (Purn) H. Abdul Thalib (1918-1973)
Masyarakat di Alam Kerinci (Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci) Propinsi Jambi patut merasa bangga dan perlu menaruh hormat yang mendalam kepada Mayor Jenderal H. A.Thalib (1918-1973), seorang Jenderal dan mantan Duta Besar Indonesia pertama di Malaysia, putra alam Kerinci kelahiran Sungai Penuh.
Defitra Eka Jaya,S.Sos ( kerabat dekat Mayjen H.A.Thalib) dalam bincang malam via telepon seluler mengemukakan bahwa H.A.Thalib merupakan Putra alam Kerinci Propinsi Jambi yang pertama yang berpangkat Jenderal (Mayor Jenderal) dan Duta Besar yang disegani dan dicintai tidak hanya oleh rakyat Indonesia, akan tetapi sangat di hormati dan dihargai oleh Pemerintah dan Rakyat Malaysia.
Dari tumpukan album dan deretan panjang nama para pejuang dan hulubalang yang lahir di alam Kerinci tercatat dengan tinta emas nama salah satu putra terbaik alam Kerinci: Mayor Jenderal H. A.Thalib, beliau merupakan yang pertama, salah satu putra terbaik dari alam Kerinci yang mencapai puncak karir militer dengan pangkat Mayor Jenderal.
Sebagai prajurit TNI beliau memulai karir dari tingkat dasar, beberapa jabatan Militer penting telah dipercayakan Negara dan Bangsa kepada Beliau, perjuangan beliau tidak hanya di kenal di tanah kelahiran lebih dari itu reputasi Mayor Jenderal H. A.Thalib juga dirasakan seluruh Nusantara.
Sikap tegas, berwibawa, rendah hati dan santun mengantar karir beliau hingga ke dunia internasional, beliau pernah menjabat atase militer RI untuk India dan Burma, setelah itu beliau dipercayakan Bangsa Indonesia untuk mejadi Duta Besar RI berkuasa penuh di Malaysia.
Dari riwayat dan informasi menyebutkan H .A.Thalib merupakan sosok pribadi yang jujur, berdisiplin, taat beragama dan memegang teguh setiap amanah yang dipercayakan kepada beliau. sosok Jenderal yang flamboyan ini dikenal dengan kesederhanaan dan kebersahajaan, meski beberapa kali menempati pos penting di Kementerian Pekerjaan Umum, hingga menjadi Duta Besar. Beliau tidak serakah dan tidak menggunakan jabatan untuk memperkaya diri, akan tetapi sosok Jenderal Thalib tidak memanfaatkannya sebagai jalan pintas menjadi orang kaya
Mayor Jenderal H. A.Thalib lahir dari pasangan Muhammad Siah Datuk Singarapi dan Siti Rawi di sebuah Rumah Larik Jajou (Rumah tradisi suku Kerinci), Larik Tengah Dusun Sungai Penuh, kedua orang tua beliau memberi nama Abdul Thalib yang di singkat menjadi A.Thalib, setelah menunaikan rukun Islam ke lima, pada tahun 1953, nama beliau menjadi Haji Abdul Thalib (H. A.Thalib)
Ketika A.Thalib kecil berusia 4 tahun, dan adiknya Abdul Madjid berusia 2 tahun, Ibunda beliau Siti Rawi meninggal dunia, selama 2 tahun A.Thalib dan adiknya diasuh oleh keluarga ayahanda beliau, berada dalam asuhan Aminah Bibi beliau, dan lalu di asuh Paman nya Si’in Thaher dan istrinya Saibah
A.Thalib adalah kemenakan Siin, ibundanya Siti Rawi adalah adik kandung Siin, sebagai seorang paman, Siin menaruh perhatian dan kasih sayang yang besar terhadap kemenakannya A.Thalib.
Kehidupan A.Thalib sejak kecil diwarnai oleh sang pamannya Siin, beliau membina pertumbuhan dan mendidik A.Thalib dengan segenap cinta dan kasih sayang, Siin tidak hanya dikenal sebagai pengusaha yang dermawan akan tetapi sosok Siin dikenal sebagai tokoh pembaharuan, beliau merupakan salah seorang perintis berdirinya Krintji Instituut, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan sekolah rakyat, yang kemudian mendirikan sebuah sekolah yang disebut HIS swasta.
Si’in Thaher dikalangan masyarakat di alam Kerinci khususnya di Sungai Penuh merupakan keluarga yang mapan secara ekonomi dan merupakan keluarga yang terpandang, beliau merupakan salah satu pengusaha terkemuka di alam Kerinci, disamping memiliki penggilingan padi (huller) Siin Thaher memiliki keterampilan sebagai seorang mekanik dan beliau pada masa itu mempelajari keterampilan sebagai mekanik melalui saudara beliau di Bengkulu yang memiliki bengkel mobil dan pernah beberapa tahun berada di Batavia dan bekerja sebagai montir sekaligus membuka usaha jual beli onderdil mobil dan 1920 Siin Thaher kembali ke kampung halamannya dan membuka usaha penggilingan padi dan kopi.
A.Thalib sejak kecil hidup dalam lingkungan dan asuhan Si’in Thaher, kehidupan Pamannya yang berkecukupan dan merupakan sebagai tokoh terpandang ikut mewarnai kehidupannya, sebagai seorang yang belajar dari pengalaman dan mendalam pengetahuan dan ketrampilan secara otodidak Si’in Thaher dikenal sebagai sosok yang dermawan, beliau termasuk salah seorang pendiri lembaga Krintji Institut, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan sekolah rakyat, yang kemudian mendirikan sebuah sekolah swasta yang disebut HIS swasta
Pada masa penjajahan Belanda era tahun 1920 an di Kerinci hanya ada satu Sekolah Dasar milik Pemerintah, beberapa diantaranya sekolah milik swasta,Sekolah milik pemerintah itu adalah Sekolah Rakyat 3 Tahun (Volkschool ). Lulusan SR 3 Tahun dapat melanjutkan Sekolah Sambungan (Vervolkschool) dengan lama belajar 2 tahun, Sekolah milik pemerintah Belanda lainnya adalah Shcakelschool dan Meisjescholl (Sekolah khusus untuk Anak Perempuan). Pada waktu itu Muhamadiyah juga mengelola Schakelschool, dengan demikian selain HIS swasta milik “Krintji Institut” juga ada “Scahelscholl“ swasta milik Muhamadiyah, keduanya berkedudukan di Sungai Penuh, di kedua sekolah tersebut diajarkan Bahasa Belanda. pada masa itu Muhamadiyah dan PERTI juga mendirikan sekolah sekolah agama diantaranya adalah Thawalib Islamiyah yang didirikan tahun 1928 dengan pimpinannya A.R.Karim Rawang dan selain itu juga ada madrasah yang diasuh oleh Muhamadiyah, Madrasah Islamiyah School, guru guru madrasah ini umumnya adalah tamatan sekolah “Parabek” Bukittinggi atau“Thawalib” Padang Panjang, guru guru yang paling terkemuka diantaranya ialah H.Adnan Thaib, Abdul Rahman Dayah dan A.R .Karim. Para perintis pendidikan yang dikenal pada itu adalah Guru Hardito, dibantu oleh kawan kawannya termasuk Si’in Thaher seorang pengusaha dan pemilik penggilingan Kopi dan Padi ternama di Sungai Penuh.
Hardito saat itu adalah pemuda Jawa yang datang ke Kerinci pada awal tahun 1920 an, sebagak Aktifis Taman Siswa yang juga berhubungan dengan orang orang Muhamadiyah di Jawa, Hardito termasuk salah seorang yang dikirim ke luar Jawa untuk memajukan pendidikan di Kerinci, kebetulan saat itu cabang organisasi Muhamadiyah belum terbentuk di alam Kerinci dan bersama sama ulama terkemuka Kerinci antara lain Abdullah Kambang, Hardito bersama tokoh tokoh Kerinci mendirikan lembaga pendidikan yang oleh Belanda disebut Krintji Institut ( Yayasan Pendidikan Kerinci)
Selain aktif dunia pendidikan, Hardito dan kawan kawannya mendirikan organisasi kebudayaan sebuah organisasi luar sekolah yang bernama Krisma atau disebut juga “Kerinci Maju” dengan ketuanya M.Kukuh. Hardito juga membentuk Pandu Muhammadiyah, yaitu “Hisbul Wathan” (HW) ,Ketuanya pada waktu itu adalah Buya Rahmattun dan Adnan Thaib, mereka mereka yang menjadi murid murid tersebut dikemudian hari menjadi tokoh pejuang dan pemimpin di bumi Sakti Alam Kerinci, diantaranya adalah Mayor Jenderal H. A.Thalib, Zainal Abidin(Pejabat Imigrasi Pusat), H. Abdullah Hamid Arifin.
Pada periode berikutnya tahun 1946 Hardito dan Pemuda A.Thalib berusaha mendirikan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ), dan pada saat itu A.Thalib memerintahkan stafnya untuk menjemput Sukoco dan tiga tokoh tiga serangkai tersebut Hardito, A.Thalib dan Sukoco menyelenggarakan dan melengkapi kebutuhan sarana pendidikan dan merekrut beberapa orang guru diantaranya Hasan Basri Basalamah, Azhar, Mohd Lepang.
Hasan Basri Basalamah seorang CPM dijemput di Bengkulu untuk membantu mengajar dan tetap menjadi CPM, Azhar seorang tamatan MULO dijemput di Inderapura, hanya Mohd Lepang yang saat itu berada di Sungai Penuh, pada waktu itu gedung tempat belajar menggunakan bekas rumah Kontrolir Belanda, SMP Sungai Penuh didirikan tahun 1948.
Murid murid SMP tersebut umumnya adalah bekas murid HIS masa Belanda, diantara murid murid angkatan pertama itu antara lain adalah Idris Jakfar, Yakub Isman, Anas Rusli, Rusli Latif, Salam Karim, Hasyimi. Pada waktu Agresi Belanda ke II, Gedung SMP negeri bekas rumah Kontler Belanda dibakar dan dibumi hanguskan oleh para pejuang, dan untuk sementara SMP tersebut dipindahkan ke Desa Koto Baru,Rawang yang dikenal dengan julukan SMP Darurat. Menjelang penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI dibangunlah gedung sementara diatas gedung Sekolah Rakyat yang dibumi hanguskan yang berlokasi dekat Masjid Baiturahman. Pada tahun 1954 Pada saat Wakil Presiden RI pertama Bung Hatta berkunjung ke Kerinci, Gedung SMP menempati gedung baru yang berdekatan dengan Rumah Sakit Sungai Penuh.
Pada tahun 1942, A.Thalib sebagain pemimpin muda dengan wawasan dan kesadaran kebangsaaan yang lebih tinggi menyatukan pemuda dari berbagai penjuru Alam Kerinci untuk bergabung dengan nama” Irsadulwatan” atau suara tanah air, untuk menggalang persatuan Pemuda Kerinci didalamnya terbagi berbagai kegiatan seperti teater (tonil) dan musik.
H.A.Thalib Duta Besar RI Berkuasa Penuh di Malaysia
Untuk pertama kalinya sejak Indonesia Merdeka, salah satu orang putra terbaik alam Kerinci, Provinsi Jambi diangkat Pemerintah RI menjadi Duta Besar RI untuk Malaysia, putra terbaik itu adalah Mayor Jenderal H. A.Thalib, sebelum diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia tahun 1968, situasi pelik politik Indonesia, khususnya dalam masalah hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia, selama lebih kurang lima tahun (1963-1968) hubungan diplomatik antara Indonesia-Malaysia terputus akibat konfrontasi kedua negara bertetangga tersebut.
Konfrontasi dengan Malaysia berdampak buruk bagi Indonesia, Indonesia kehilangan simpati dimata jutaan orang Malaysia yang kebanyakan adalah suku Melayu yang serumpun dengan Bangsa Indonesia, untuk memulihkan hubungan kedua negara, pihak Malaysia mengharapkan agar Duta Besar Republik Indonesia pertama pasca–konfrontasi hendaknya dari kalangan suku yang secara psikologisnya memiliki kedekatan dengan penduduk Malaysia, khususnya dari Pulau Sumatera. Menteri Luar Negeri saat itu H. Adam Malik memiliki pandangan yang sama dengan Malaysia, akan tetapi saat itu Menteri Luar Negeri RI H. Adam Malik belum tahu siapa tokoh dari Sumatera yang lebih tepat untuk diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pertama Pasca-Konfrontasi untuk diangkat menjadi Duta Besar RI di Malaysia.
Melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang, Menteri Luar Negeri H. Adam Malik bertanya kepada Alamsyah Ratu Prawira Negara yang saat itu menjabat Menteri Kemakmuran, Beliau selanjutnya bertanya kepada Buya HAMKA, seorang Tokoh Kharismatik dan Ulama Besar Indonesia dari Minangkabau, Beliau mengusulkan Mayor Jenderal.H. A.Thalib paling cocok, dan Menteri Kemakmuran yang juga tahu perjuangan dan sepak terjang Jenderal H. A.Thalib mengiyakan dan menyatakan setuju dan Menteri Luar Negeri H. Adam Malik yang mendapat jawaban dari Jenderal Alamsyah Ratu Perwira Negara.Ketiga Tokoh Nasional saat itu sependapat bahwa Mayor Jenderal H.A.Thalib lebih cocok dengan selera Malaysia.
Mayor Jenderal H. A.Thalib putra Sumatera asal Kerinci, Jambi yang berasal dari Dusun Sungai Penuh Kota Sungai Penuh merupakan Tokoh yang disegani sejak masa perjuangan dan pernah menjadi Atase Militer untuk India dan Burma di New Delhi ( 1954 – 1958 ), dilain pihak sejak awal abad ke XIX di Malaysia sudah banyak orang Kerinci yang hidup menetap, diantaranya telah menjadi warga Negara Malaysia, pada masa itu sudah banyak orang Kerinci yang pergi ke Kelang, Kelang adalah sebuah pelabuhan di Malaysia, sudah lama orang Kerinci hidup menetap di Malaya, awalnya sebagian besar dari orang Kerinci ke Kelang sebagai batu loncatan untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah, umumnya perantauan asal Kerinci pada saat itu membuka kebun karet sebagai bekal kelak berangkat menunaikan ibadah Haji, setelah memiliki dana yang cukup mereka berangkat mengarungi Samudera luas menuju tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah Haji.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji dengan waktu yang cukup lama, akhirnya mereka kembali pulang, sebagian besar karena sudah memiliki mata pencarian tetap dan telah berumah tangga akhirnya mereka memilih hidup menetap sebagai penduduk Kelang ( Malaya) hanya sebagian kecil yang pulang ke alam Kerinci.
Kamis 11 April 1968, Putra terbaik Indonesia asal suku Kerinci Provinsi Jambi dilantik oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara Jakarta sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Malaysia, bersama Mayor Jenderal H. A.Thalib, saat itu Presiden RI juga melantik Sudjatmoko sebagai Duta Besar RI untuk AS. Dalam Konferensi pers pertamanya setelah dilantik menjadi Duta Besar RI di Malaysia,Mayor Jenderal H. A.Thalib menyatakan bahwa tugas utamanya sebagai Duta Besar RI di Malaysia ialah memulihkan hubungan antara kedua negara yang berasal dari bangsa serumpun itu dengan sebaik baiknya. diharapkan dalam waktu singkat hubungan baik kedua bangsa serumpun itu segera dapat di wujudkan sehingga kembali hidup rukun dan damai, cinta mencintai. hal yang demikian tentu hanya dapat dilaksanakan dengan niat yang ikhlas dan jujur tanpa pura pura atau penuh kepentingan ideologi kelompok sebagaimana praktek praktek di zaman orde lama yang menyebabkan renggangnya hubungan kedua negara.
Sikap ramah dan bersahabat yang ditunjukkan Mayor Jenderal H. A.Thalib kepada masyarakat dan pemerintah Malaysia telah menghangatkan kembali hubungan baik antara kedua negara, hubungan itu semakin membaik lagi setelah kunjungan muhibah (balasan) Presiden Soeharto dan rombongan ke Malaysia tahun 1970, sebagai kunjungan balasan atas kedatangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman tahun 1968, dengan kunjungan kedua pemimpin dari bangsa serumpun dan berkat hubungan diplomatik yang harmonis yang dilakukan oleh Mayor Jenderal H. A.Thalib, tanpa saluran resmi perjanjian Internasional, Pintu hati kedua bangsa serumpun terbuka semakin lebar, tidak ada lagi prasangka-prasangka, yang ada hanya bagaimana mengukuhkan tali yang telah ada berabad abad terjalin melalui hubungan ras yaitu ras Melayu.
Ketika masa jabatan Mayor Jenderal H. A.Thalib berakhir, masyarakat Malaysia banyak yang sedih, bahkan pemerintah Malaysia minta agar masa kerja Mayor Jenderal H.A.Thalib di perpanjang satu tahun lagi, tetapi saat itu tidak dikabulkan oleh Jakarta, saat melepaskan keberangkatan H. A.Thalib ke Indonesia, banyak warga Malaysia yang menunggu disepanjang jalan hanya untuk sekedar bersalaman sebagai tanda hormat terhadap jasa dan pengabdian tulus yang dipersembahkan oleh Mayor Jenderal H.A.Thalib.
Sebagai Duta Besar Mayor Jenderal H. A.Thalib telah behasil menjalin dan meningkatkan kembali hubungan baik antara Indonesia dengan Malaysia, ia juga telah berhasil menyatukan rumpun Melayu yang terpecah akibat konfrontasi pada masa lalu. dan sebagai penghormatan dan penghargaan pemerintah Malaysia terhadap jasa dan pengabdian Mayor Jenderal H. A.Thalib diangkat sebagai warga kehormatan dengan gelar Tan Sri sebuah gelar kehormatan Kenegaraan Malaysia dan istri beliau Nurdjanah juga mendapat Gelar Puan Sri. Penobatan dilakukan di Istana Negara Kerajaan Malaysia pada bulan Juli 1972, dan dari negara bahagian Pahang, Mayjen H. A.Thalib dan istrinya juga mendapat kehormatan yakni Datuk dan Datin.
Keberhasilan, kebersahajaan dan sikap Mayor Jenderal H.A.Thalib tidak hanya membanggakan bangsa Indonesia, lebih dari itu orang suku Kerinci yang berada di Malaysia pada saat itu semakin percaya diri dan ternyata antara suku Melayu Kerinci merupakan suku bangsa serumpun, sampai saat ini secara umum hubungan baik antara orang Kerinci perantauan dengan sesama keturunan suku Kerinci di Malaysia telah terjalin hubungan yang harmonis.
Orang Kerinci di Malaysia dapat hidup rukun, sangat jarang terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan bagi orang suku Kerinci yang ada di Malaysia, orang Kerinci itu tipe pekerja keras dan memiliki solidariitas yang tinggi terhadap sesama keturunan suku Kerinci, umumnya orang-orang Kerinci mengelompok dalam pemukiman sesuai dengan asal dusun mereka masing masing di Kerinci, mereka membuat semacam wadah organisasi sosial berupa kelompok kelompok pengajian dan yasinan, jika ada musibah kematian atau kegiatan pernikahan warga Kerinci dikelompok masing masing saling membantu. di Malaysia rasa kesetiakawanan dan solidaritas sesama warga Kerinci cukup tinggi, mereka juga tidak segan segan membantu warga Kerinci yang baru pertama kali datang ke Malaysia hingga mereka mendapatkan pekerjaan.
H.Bustanuddin Bin H.Muhammad Rais (87tahun) warga negara malaysia keturunan Seleman Kerinci, Mantan anggota Polisi Diraja Malaysia mengemukakan, ketika masih aktif menjadi Polisi Diraja Malaysia pernah beberapa kali bersilaturahmi dengan Jenderal H.A.Thalib Duta Besar RI berkuasa penuh di Malaysia, Pada saat Jenderal H.A.Thalib menjadi Duta Besar,beliau sangat di hormati baik oleh Pemerintah dan Rakyat Malaysia, maupun oleh Duta Besar Negara lain yang berada di Malaysia, terlebih oleh masyarakat Kerinci yang menjadi Tenaga Kerja maupun oleh masyarakat Malaysia keturunan Kerinci.
Prestasi dan dedikasi beliau yang paling monumental ialah beliau dengan sikap yang agamis dan pendekatan budaya mampu menyambung kembali tali persaudaraan bangsa serumpun, Malaysia-Indonesia yang terputus akibat konfrontasi tahun 1960 an.
Jenderal H.A.Thalib wafat.
Ketika malam kian merayap sepi, suasana Dusun Sungai Penuh terasa sepi, sebagian besar masyarakat dusun Sungai Penuh telah lelap dalam tidur, hanya beberapa orang remaja terlihat masih duduk bercengkrama dibalai balai dusun, sementara di Paviliun Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto seorang putra terbaik alam Kerinci Mayor Jenderal TNI (Purn) H A.Thalib tengah terbaring sakit.
Dari hasil pemeriksaan Laboratorium RSPAD Gatot Subroto ternyata H. A.Thalib mengidap penyakit lever, hasil pemeriksaan tim medis RSPAD Gatot Subroto mengharuskan beliau untuk dirawat secara serius, menurut dr Pang dokter spesialis penyakit lever, penyakit yang diderita H. A.Thalib sudah sangat parah.
Mendengar H. A.Thalib dirawat di RSPAD puluhan rekan rekan, teman sejawat dan masyarakat Kerinci –Jambi di Jakarta datang silih berganti menjenguk beliau yang terbaring lemah. Pada hari minggu tanggal 23 Desember 1973 kondisi Fisik beliau semakin melemah dan beliau tidak sadarkan diri, dalam kondisi koma hadir, Alamsyah Ratuperwiranegara duduk disamping H. A.Thalib membacakan surat Yassin, dalam waktu yang bersamaan hadir menjenguk Buya Prof.Dr.Hamka, pada saat itu buya Hamka bertanya kepada istri H.A.Thalib, apakah beliau memiliki hutang? istri beliau menjawab tidak, dan setelah mendapatkan jawaban singkat maka Buya Hamka membacakan surat Yassin, dan karena kondisi H.A.Thalib mulai nampak tenang, maka Buya Hamka pamit keluar ruangan, dan hingga jelang isya H.A.Thalib hanya Nurdjanah istri beliau yang selalu menemani dengan tiada henti membacakan surat Yassin.
Pada tanggal 23 Desember 1973, pukul 22.30.Wib disaksikan Istri tercinta Nurdjanah, putra-putri beliau yang ada di Jakarta dan beberapa orang keluarga dan kerabat dekat, Mayor Jenderal H.A.Thalib berpulang ke rahmatullah, dua orang putra beliau Sjahril dan Kamarulharir tidak dapat menyaksikan kepergian almarhum karena masih berada di Jerman dan baru sampai di Jakarta dua hari setelah pemakaman beliau.
Kepergian beliau tidak hanya ditangisi sanak keluarga, rakyat Indonesia termasuk warga Malaysia dan pemerintah Indonesia merasakan duka yang teramat mendalam, sejumlah tokoh nasional dan sahabat beliau seperti Wakil Presiden RI Sri Sultan Hamengkubuwono, Mayjen Hasnan Habib, K.H.Malik Ahmad, Z.A.Ahmad, Brigjen Widya Latif, Brigjen Nurmatias, Pangkopkamtib Jenderal Sumitro, Jenderal.A.H.Nasution dan ratusan tokoh nasional, ulama, seniman dan budayawan termasuk Prof. DR. KH.Hamka menyempatkan diri meluangkan waktu untuk melepaskan kepergian H.A.Thalib menuju Hariban Illahi.
Pada tanggal 24 Desember 1973 Proses pemakaman Mayjen. H. A.Thalib dilaksanakan dengan upacara militer, sebelum diserahkan kepada negara untuk di makamkan terlebih dahulu dilaksanakan shalat jenazah yang di imami Buya Hamka. Usai pelaksanaan shalat jenazah, pihak keluarga diwakili Abu Hanifah (kakak Nurdjanah) mewakili keluarga menyerahkan jenazah kepada Hasnan Habib untuk seterusnya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Pemakaman Mayjen H.A.Thalib dilaksanakan dengan Upacara Militer dengan Inspektur Upacara Jenderal Daryatmo dan kata sambutan disampaikan oleh Buya Prof.DR.Hamka.
Buya Hamka dalam sambutannya menyebutkan bahwa sosok Mayor Jenderal H.A.Thalib merupakan sosok tentara yang rendah hati, taat melaksanakan perintah agama, dan tidak pernah membanggakan diri, Mayjen H. A.Thalib menurut Buya Hamka merupakan sosok yang tidak bercacat. Buya Hamka pada sambutannya menyebutkan “Kamu (Mayjen. H. A.Thalib) pulang ke Tuhan tidak ada bintang di pundakmu yang dihargai Tuhan, tapi kamu punya bintang di paha kamu”
Kalimat diatas yang dimaksud oleh buya Hamka “dengan bintang yang ada di pahamu” ialah dipaha Mayjen H. A.Thalib masih ada peluru yang bersarang di paha kanannya akibat tembakan pasukan belanda dalam peristiwa Situjuh Batur tahun 1949, karena tidak mengganggu, Peluru yang masih bersarang di paha kanan itu tidak pernah di operasi untuk mengeluarkan peluru, hingga beliau wafat peluru itu masih tetap bersarang dipaha kanan Mayjen. H. A.Thalib.
Berita kepergian almarhum Mayjen.H.A.Thalib disebar luaskan TVRI, Televisi Malaysia dan Singapura dan diekspos oleh banyak media cetak nasional dan daerah.
Selama Mayor Jenderal H.A.Thalib menjalani karir militernya,beliau mendapat 7 tanda jasa yakni Bintang Gerilya, Medali sewindu AP, Setya Lencana Kesetiaan XXVI Tahun, Setya Lencana Perang Kemerdekaan RI I dan II, Setya Lencana Bhakti, Setya Lencana Penegak dan Bintang Kartika Eka Paksi kelas III. (NRD)
*dirubah seperlunya
sumber: incung.com
Tinggalkan komentar
Comments 0